Jumat, 30 Oktober 2009

Hikayat Amir Hamzah

HIKAYAT AMIR HAMZAH

Ceritera pertama pria mengatakan kelakuan Alkosi Menteri dengan Khoja Bhakti Jamal. Demikian bunyinya :
Ada suatu negeri Madina namanya, negeri itu terlalu besar lagi dengan eloknya, dan rajanya dalam negeri itu Kibad Syahriar namanya. Dikata orang : raja itu terlalu hartawan, lagi budiman, lagi dermawan dan kasih akan segala hulubalang, dan menterinya, dan rakyatnya, lagi adilnya pun terlalu mashur, dan seorang pun raja di dalam dunia tiada dapat melalui titahnya dan tiada dapat mengikuti lakunya. Pada masanya semuanya raja-raja. Dalam hikayat dan takluknya. Adapun akan raja itu empat puluh empat ada menterinya dan tujuh ratus bentaranya, dan dua ratus pahlawan yang gagah-gagah yang memakai mahkota yang keemasan duduk dihadapannya, dan sepuluh laskar hulubalang yang mengendarai kuda semberani dan memakai baju jarah besi niah lagi kelihatan tubuhnya, dan tiga puluh ribu hamba tebusan yang memakai kalah-kalah yang keemasan bertahtakan ratna mutu manikam dan berikut berumbai-rumbaikan mutiara dan berbaju keemasan sekalian orang itu khidmad kepada raja Khibad Syahriyar pagi dan petang menghadap baginda itu. Adapun yang penghulu sekalian menteri itu ada seorang menteri terlalu amat adil dan budiman namanya Alkosi Menteri, barang sembahnya diperkenankan raja lagi sempurna pada ilmu jaman suda itu dari pada anak cucu Nabi Danial alaihissalam. Dalam neteri itu ada seorang lagi Islam, Khoja Bakhti Jamal namanya. Disebut orang lain daripada sudah itu semuanya kafir menyembah berhala, dan menyembah api. “Alkisah” : adapun Alkosi Menteri dan Khoja Bakhti Jamal terlalu sekali berkasih kasihan bersahabat seperti orang bersaudara lakunya. Sudah kala berkunjung kunjungan tiada dapat lagi ia berjarak. Jika belum Alkosi Menteri bertemu dengan sahabatnya Khoja Bakhti Jamal, belum Alkosi Menteri pergi menghadap raja. Sekali peristiwa seperti adatnya dahulu kala itu pada suatu hari datang Alkosi Menteri ke rumah sahabatnya Khoja Bakhti Jamal. Maka ia pun memandang kepada muka Khoja Bakhti Jamal, seraya dilihatnya pada telaah rumahnya maka digaruk-garukkannya kepalanya maka dilihatnya oleh Khoja Bakhti Jamal akan Alkosi Menteri menggarukkan kepalanya.
Maka kata Khoja Bakhti Jamal : “Hai saudaraku mengapa muka engkau melihat mukaku, mala engkau menggarukkan kepalamu ?” Maka kata Alkosi Menteri : “Hai Saudaraku kulihat pada telaah ramalku bahwa dalam empat puluh hari ini suatu masa besar datang kepadamu”. Setelah didengar Khoja Bakhti Jamal katanya Alkosi Menteri demikian itu, maka kata Khoja Bakhti Jamal : “Hai Saudaraku Alkosi Menteri, bicarakan apalah olehmu betapa periku menyulut mara itu katakan kepadaku supaya kukerjakan”. Maka kata Alkosi Menteri : “Hai Saudaraku pada bicaraku baiklah engkau khulwat empat puluh hari jangan engkau keluar dari rumahmu dan jangan engkau berkata dengan seorangpun. Arkian kata Alkosi Menteri itupun diperkenankan oleh Khoja Bakhti Jamal maka Alkosi Menteri pun kembalilah dari sana.
Maka Khoja Bakhti Jamal khulwatlah di rumahnya hingga datang kepada tiga puluh sembilan hari. Maka Alkosi Menteri pun datang berseru-seru kepada Khoja Bakhti Jamal : “Hai Handaiku pertetaplah hatimu, adapun mara itu telah lepaslah dari padamu, sekarang hanya sehari lagi tinggal tiadalah mengapa akan sekarang niscaya kebajikan datang akan engkau. Hai saudaraku bangkitlah engkau marilah kita kedua berjalan kepada taman memakan segala buah-buahan yang baik-baik rasanya dan bunga yang harum baunya itu kita pakai. Menengar kata Alkosi Menteri demikian itu, maka Khoja Bakhti Jamal pun turunlah keduanya merayakannya berjalan berpegang pegangan tangan. Maka pada antara jalan itu Khoja Bakhti Jamal pun hendak pada hajat. Maka ia berkata kepada Alkosi Menteri : “Hai Saudaraku, Tuan hamba berdirilah disini seketika, karena aku hendak kodha hajat”. Maka diberi hajat oleh Alkosi Menteri : maka Khoja Bakhti Jamal pun masuk kepada suatu penjuru taman itu. Setelah sudah Kodla hajat. Maka iapun mengangkat suatu batu hendak akan istinja’. Maka dilihatnya dari bawah batu itu suatu lubang kelihatan bagus diikat manusia. Batu itu terlalu indah indah sekali rupanya dan perbuatannya. Maka Khoja Bakhti Jamal pun masuk ke dalam lubang itu dilihatnya suatu suatu pintu pada suatu bilik diikat orang dengan batu : dalamnya itu kelihatan suatu perbendaharaan empat puluh buah tempayan, penuh dengan emas. Dibawah tempayan itu perbendaharaan karun tandanya ada suatu surat pada batu emas itu. Setelah Khoja Bakhti Jamal melihat emas itu, maka terlalu sekejutlah karena emas itu terlalu banyak sekali. Maka Khoja Bakhti Jamal pun pikir dalam hatinya adapun harta ini harta Baitul Maal. Akan apa gunanya baik aku memberi tahu sahabatku Alkosi Menteri agar supaya harta ini dibagikan akan segala fakir miskin. Setelah sudah ia pikir demikian itu, maka Khoja Bakhti Jamal pun pergi memberi tahu Alkosi Menteri. Demikian katanya : “Hai Saudaraku, adapun aku ada bertemu dengan suatu perbendaharaan tempayan berisi emas dalamnya empat puluh banyaknya. Maka kata Alkosi Menteri : Hai Saudaraku, dimana tempatnya perbendaharaan itu katakan kepadaku”. Maka lalu dicabutnya tangan Khoja Bakhti Jamal dan dipeluknya maka katanya : “Hai Saudaraku dan kekasihku, dimana tempat perbendaharaan itu ? tunjukkan apalah kepadaku”. Maka Khoja Bakhti Jamal pun membawa Alkosi Menteri kepada perbendaharaan itu. Setelah Alkosi Menteri melihat harta dalam perbendaharaan itu terlalu banyak sekali, maka hatinya pun terlalu sekejutnya. Mukanya pun berseri-seri seperti bunga dalam bahru kembang. Maka ia pun pikir dalam hatinya. Adapun jika Handaiku Khoja Bakhti Jamal kuhidupkan niscaya keluar juga rahasia ini seperti apimu kata orang dahulu kala tatkala berpantun demikian bunyinya : “Jikalau begitu memenggal kepala jangan bersaudara demikianlah. Hendaknya pekerjaan ini kukerjakan maka sempurna akan daku adapun sahabatku Khoja Bakhti Jamal di atas perbendaharaan inilah kubunuh supaya seumurku hidup aku makan harta ini datang kepada anak cucuku makan diberbiayakan habis dan suatu pun tiada hilanglah akan daku dan anak dan cucu juga. Sudah ia pikir itu, maka ditangkapnya Alkosi Menteri rambut Khoja Bakhti Jamal maka digagahinya ditekankan kepala Khoja Bakhti Jamal itu ke bumi maka didudukinya dadanya lalu dihunusnya hanjarnya dihantarkannya kepada leher Khoja Bakhti Jamal. Maka kata Khoja Bakhti Jamal : “Hai Saudaraku, tiada tega setiamu ! pekerjaan apa yang kau kerjakan ini ?” Maka kata Alkosi Menteri : “Hai Sahabatku ! inilah sebaik-baik muslihatku hendak membunuh engkau supaya rahasia ini jangan lagi seorang pun tahu”. Maka kata Khoja Bakhti Jamal : “Demi Tuhan yang menjadikan engkau dan aku bahwa rahasia ini tiada kukatakan pada seorangpun. Berapa kata Khoja Bakhti Jamal tiadalah didengarkan oleh Alkosi Menteri. Arkian, maka kata Khoja Bakhti Jamal : “Hai Sahabatku pada bicaraku engkaulah sahabat yang terlalu baik dari pada segala sahabatku yang lain. Pada bicaraku tiadalah daya lakumu demikian ini akan daku”. Maka kata itupun tiada juga diperkenankan oleh Alkosi Menteri. Tatkala itu Khoja Bakhti Jamal pun taulah bahwa Alkosi Menteri dengan sunguh-sungguh hatinya hendak membunuh akan daya. Maka kata Khoja Bakhti Jamal : “Hai Saudaraku ! Kuketahuilah sekarang ajalku akan mati dan dengan sungguh-sungguh hatimu engkau hendak membunuh aku. Ridholah aku dengan kehendak Allah Subhana Wataala dan kuserahkannyalah nyawaku pada tanganmu : tetapi ada suatu pesanku padamu jangan tiada kau sampaikan ke rumahku”. Maka kata Alkosi Menteri : “Hai Khoja Bakhti Jamal, apa pesanmu kepadaku ? Katakanlah supaya kudengar karena tiadalah aku menghidupi engkau !” Maka kata Khoja Bakhti Jamal : Bahwa isteriku hamil kutinggalkan karena sekarang aku berlayar dari negeri fana kepada negeri yang baqo’. Adapun akan istriku itu, Allah Subhana Wataala juga lagi menghidupi lain dari pada Allah tiada siapa kuasa. Adapun dari pada harta ini barang seribu tanggah emas berikan kepada isteriku dan katakan salam kekasihmu bahwa suamimu itu ditolong oleh seorang baya pria dibawanya berlayar sertanya ke negeri hujam. Sekarang sudahlah ia pergi, inilah seribu tanggah emas disuruhnya berikan akan dayaku dan demikian pesannya jika anaknya laki-laki namanya Khoja Bajar Jamar dan bayiku peliharakan, Adapun jika anaknya perempuan, Bariq Bahramulah namanya itu. Maka pesan Khoja Bakhti Jamal itupun dikabulkan oleh Alkosi Menteri. Maka Khoja Bakhti Jamal itupun disembelihnya oleh Alkosi Menteri. Setelah sudah Alkosi Menteri membunuh Khoja Bakhti Jamal, maka ditanamkannya diatas perbendaharaan itu. Maka diambilnya seribu tanggah emas. Maka ia pun keluar dari dalam taman itu dengan sekejutnya. Maka dibawanya tanggah emas itu kepada istri Khoja Bakhti Jamal. Syahdan seperti pesan Khoja Bakhti Jamal dikatakannya pada isterinya Khoja Bakhti Jamal. Maka istri Khoja Bakhti Jamal pikir dalam hatinya : Sungguhlah seperti kata Alkosi Menteri itu. Maka tanggah emas itupun diambilnya oleh istri Khoja Bakhti Jamal dan hatinyapun terlalu suka. Serta minta dihalalkan Alkosi Menteri, maka Alkosi Meteri pun pulang ke rumahnya ; maka ia pun memanggil segala laskarnya dan hamba sahayanya, maka disuruhnya pagari taman itu berkeliling tuguh-tuguh. Setelah sudah dipagari orang. Maka Alkosi Menteri pun menyuruh mendirikan sebuah mahligai dibatas perbendaharaan itu berkeliling mahligai itu di tanamnya bagai-bagai pohon kayu. Maka Alkosi Menteri pun sudah kalah disanalah melakukan kesukaannya siang malam dengan anak isteri dan hamba sahaya sekalian. “Wallohu a’lam”
-------------------------
Ceritera yang kedua pria mengatakan tatkala jadi Khoja Bajar Jamar Hakim, dan pria mengatakan tatkala raja Khibad Syahriar membesarkan Khoja Bajar Jamar Hakim dan menjadikan ia menteri.
“Alkisah”. Setelah genaplah bulannya, “Khoja Bakhti Jamal” itu, maka iapun beranaklah seorang laki-laki. Pada ketika yang baik dinamainya akan anaknya “Khoja Bajar Jamar” dan dipeliharakannya dengan sepertinya harta berapa lamanya daripada sehari-hari “Khoja Bajar Jamar” pun besarlah dan alamat budak akan berbahagia adalah padanya dan berdualah rupanya dilihat orang banyak. Bermula segala orangpun terlalu kasih akan daya berapa lamanya datanglah usianya “Khoja Bajar Jamar” kepada sembilan tahun maka iapun dibawanya oleh ibunya kepada mualim maka disuruhkannya mengaji Qur’an. Berapa lamanya “Khoja Bajar Jamar” pun mengaji maka ilmu pun banyak diperolehnya, lidahnya pun terlalu baik dan gurunya pun terlalu heran melihatnya. Akan “Khoja Bajar Jamar” mengaji itu terlalu sangat pahamnya kelakuan maka ada suatu kitab di rumah mualim itu Jamsi Hakim namanya kitab itu. Adapun asalnya daripada Jamsi Hakim juga diperolehnya oleh “Khoja Bakhti Jamal” maka tiada termutolaahkan oleh “Khoja” itu. Maka diberikah oleh “Khoja Bakhti Jamal” kepada mualim itu. Maka mualim itu tiada dapat memutholaahkan kitab itu apa ada dalam kitab itu tiada diketahuinya. Maka pada suatu hari mualim itupun mengatakan peri kelakuan kitab itu dihadapan “Khoja Bajar Jamar” setelah didengar oleh Khoja Bajar Jamar kata gurunya itu maka kata Khoja Bajar Jamar : Hai tuanku ! beri apalah akan hambamu kitab itu barang sehari dua hari hamba pinjam supaya kitab itu hamba mutholaahkan arkian, maka gurunya itupun segera berbangkit masuk ke dalam rumahnya. Maka diambilnya kitab itu diberikannya kepada “Khoja Bajar Jamar”. Maka Khoja Bajar Jamar pun bermohon kepada gurunya pulang ke rumahnya. Dibawanya kitab itu, maka dimutholahkan oleh Khoja Bajar Jamar dilihatnya dalam kitab itu peri kelakuan raja “Kitab Syahriar” dan peri “Alkosi Menteri” membunuh bapaknya. Itupun semuanya dilihatnya dalam kitab itu. Habis diketahuinya sudah itu maka kitab itupun ditaruhnya maka iapun datanglah kepada ibunya perlahan-lahan dengan sembah sujudnya. Maka ia pun berkata perlahan-lahan : “Hai ibuku ! Bapakku sekarang kemana ? Maka kata ibunya : “Hai anakku, tatkala engkau lagi di dalam perutku, Bapakmu pergi berlayar sekarang ia tiadalah ada lagi wartanya. Betapa halnya pun tiada lagi aku tahu. Sesudah itu maka Khoja Bajar Jamar berkata pula, Hai ibuku, “Alkosi Menteri itu sekarang adakah ia lagi hidup itu tiadakah ?” Maka kata ibunya : Hai anakku ! “Alkosi Menteri” itu ada hidup. Ialah yang sahabat bapakmu terlalu berkasih-kasihan dengan dia lebih dari pada orang bersaudara seibu sebapak. Demikian kasihnya akan bapakmu. Setelah Khoja Bajar Jamar mendengar kata ibunya demikian, maka iapun berdiam dirinya. Sehari-hari sudah kalah memutholaahkan kitab itu juga dan sudah kalah terlalu khidmat akan ibunya dan akan gurunya.
“Alkisah”. Pada suatu hari, maka berkata ibu Khoja Bajar Jamar kepada anaknya : “Hai Anakku, adapun ingin makan sayur pada taman “Alkosi Menteri” itu kudengar banyak sayur”. Arkian, maka Khoja Bajar Jamar pun pergi ke pihak taman Alkosi Menteri setelah datanglah Khoja Bajar Jamar ke pintu taman itu maka, besi kilang-kilang pintu itupun dihempaskan oleh Khoja Bajar Jamar setelah didengar oleh junggai yang menunggu taman itu bawanya orang diluar pintu, maka junggai itupun segera keluar. Maka dilihatnya ada seseorang muda berdiri di muka pintu itu terlalu elok rupanya. Sekalian bunga dalam taman itu seolah-olah pudarlah warnanya sebab daripada warna muka orang muda itu maka kata junggai itu : “Hai orang muda ! apa kehendakmu kemari ini? terlalu elok rupamu ! maka kata Khoja Bajar Jamar : Aku datang ini hendak membeli sayur. Maka kata junggai itu : “Hai orang muda ! daripada maka aku mengambil harganya sayur ini ? berapa kehendakmu sayur ini ? ambillah ! kuberi. Marilah engkau masuk ke dalam taman ini. Adapun dalam taman itu ada sebuah mahligai diperbuatnya oleh Alkosi Menteri ; malam siang disanalah ia duduk melakukan kesukaannya. Setelah itu maka junggai itupun membawa Khoja Bajar Jamar masuk ke dalam taman itu. Tatkala itu Alkosi Menteri pun ada di duduk di atas mahligai itu. Maka dilihatnya segala kelakuan “Khoja Bajar Jamar” tak satupun tiada katanya. Maka junggai itu pergi memungut sayur. Adapun pada tempat “Khoja Bajar Jamar” duduk itu ada seekor kumbang bertambat. Kumbang itupun menotok menotok talinya hendak makan sayur. Maka Khoja Bajar Jamar pun perlahan-lahan mengikat diuraikannya kumbang itu. Setelah kumbang itu lepas, maka kumbang itu pun berlari-lari masuk ke pada taman. Disanalah dia makan bunga dan sayur. Dengan demikian maka kumbang terlihat oleh junggai itu disangkanya kumbang melepaskan dirinya. Maka ditunggunya lalu ditambatkannya pulang pada tempat yang dahulu itu. Maka ia pun pergi pula memungut sayur. Maka sekali lagi “Khoja Bajar Jamar” berbangkit dilepaskannya kumbang itu. Maka kumbang itupun berlari-lari memakan bunga pula dilihat oleh junggai itu. Maka iapun amarah maka ambilnya batang junggai dilotarkannya kepada kumbang itu kena perutnya. Maka kumbang itupun mati. Setelah dilihat oleh Khoja Bajar Jamar maka katanya : “Hai junggai ! ketika halal dijadikan haram. Maka kata Khoja Bajar Jamar terdengarlah oleh Alkosi Menteri maka Alkosi Menteripun heran lalu memanggil junggai itu. Katanya : “Hai junggai ! kanak-kanak itu bawa kemari. Maka junggai itu pun membawa Khoja Bajar Jamar kepada Alkosi Menteri. Ini junggai kumbang itu disuruhnya bawa kehadapan Alkosi Menteri maka Alkosi Menteri pun bertanya kepada Khoja Bajar Jamar : "Hai kanak-kanak siapa namanya dan anak siapa engkau ? maka kata Khuja Bajar Jamar : Hai Alkosi Menteri adapun namaku Khuja Bajar Jamar. Dan nama bapaknya Khoja Bakhti Jamal. Maka kata Alkosi Menteri : “Hai Khoja Bajar Jamar ! bapakmu kemana perginya sekarang ? maka kata Khoja Bajar Jamar : “Bapakku kudengar mengerjakan pekerjaan seorang biperi ditolongnya dibawanya berlayar sertanya berapa lamanya suatupun tiada kabarnya kudengar. Dimana ia sekarang tiada aku tahu. Maka kata Alkosi Menteri : “Hai kanak-kanak betapa artinya katamu itu. Ketika halal kujadikan haram. Seekor yang mati. Maka kata Khoja Bajar Jamar : “Hai Alkosi Menteri ! ada di dalam perut kumbang itu dua ekor anaknya. Seekor hatimu empat kukunya putih, dan seekor belang sebelah matanya buta sebab kena lotarnya Junggai itu, lalu mati. Setelah demikian maka disuruh Alkosi Menteri belah perutnya kumbang itu. Setelah dibelah orang maka dilihatnya singgah seperti kata Khoja Bajar Jamar itu. Maka Alkosi Menteri pun heranlah seraya pikir dalam hatinya “barang siapa tahu akan segala yang di dalam perut kumbang itu, niscaya tahulah ia akan orang yang membunuh bapaknya itu. Setelah ia pikir demikian itu, maka dipanggilnya oleh Alkosi Menteri seorang hulubalang habsyi memegang pedang. Maka kata Alkosi Menteri : “Hai Hulubalang ! kanak-kanak ini bawa olehmu ke penjara taman ini sembelih lehernya dan belah dadanya ; sudah itu ambil hatinya maka pajak. Setelah masuk, maka bawa kepadaku supaya kumakan. Maka hulubalang itupun membawa Khoja Bajar Jamar ke penjara taman itu. Adapun hulubalang habsyi itu malam siang segala berahi hatinya akan anak Alkosi Menteri yang perempuan itu. Hatinya hendak berdapat perempuan itu juga sebab dia telah maka ia pun khidmat kepada ’Alkosi Menteri’. Setelah sampai habsyi itu ke penjara taman itu, maka dihunusnya khanjarnya hendak membelah leher Khoja Bajar Jamar maka Khuja Bajar Jamar : “Hai Habsyi ! Jika aku kau bunuh, yang kau cinta itu tiadalah kau peroleh lagi dan maksudpun tiada sampai kepadamu”. Maka kata hulubalang itu : “Hai kanak-kanak ! apa yang kucinta itu ?” .Maka kata Khoja Bajar Jamar : “Adapun engkau anak raja Habsyi akan sekarang kujadikan dirimu hulubalang Alkosi Menteri dan kuperhambakan dirimu kepadanya. Maksudmu itu hendak akan anak Alkosi Menteri pada malam dan siang inilah citamu dan rasamu pun terlalu birahi kepada perempuan itu. Maka Habsyi itupun heranlah mendengar kata “Khoja Bajar Jamar” itu. Lalu didekapnya dan diciumnya. Maka kata habsyi : “Hari orang muda, bicaramu terlalu elok lagi budiman sekali engkau. Betapa periku akan sampai kehendakku itu ?” maka kata “Khuja Bajar Jamar” jika aku tiada kau bunuh, yang kuberikan itu anak “Alkosi Menteri” dalam empat puluh hari juga kuserahkan kepadamu. Maka kata hulubalang habsyi : “Hai kanak-kanak ! akan sekarang “Alkosi Menteri” hendak makan pucuk hatimu. Apa kelak katamu padanya? Maka kata “Khoja Bajar Jamar” : “Hai Hulubalang ! pergilah engkau kepekan ! ada seorang perempuan tua berjual kambing beli olehmu kambing itu. Maka sembelih olehmu. Ambil hatinya pajak sudah masih maka bahwa kepada Alkosi Menteri”. Maka kata habsyi itu ”Yang hati kambing dan hati manusia itu berlain-lainnan rasanya”. Maka kata “Khoja Bajar Jamar” : “Hai Hulubalang ! adapun hati kembing seekor itu sama rasanya dengan hati manusia”. Maka kata hulubalang itu : “Hai anak muda betapa perihnya maka hati kambing sama rasanya dengan hati manusia?” Maka kata Khuja Bajar Jamar ”Adapun pada suatu hari kambing itu beranak dan perempuan yang empunya kambing itupun beranak. Arkian ibu kambing itupun mati. Maka anak kambing itu disusukannya oleh yang empunya kambing itu. Dipeliharakan seperti anaknya. Akan sekarang ia pun gugur dengan bayinya. Sebab ia telah kambing itu hendak di jalanya. Hai Hulubalang ! Baiklah tuan hamba segera membeli kambing itu sembelih pajak hatinya bahwa kepada “Alkosi Menteri” adalah hanya rasa hati kambing itu seperti cita rasa hati manusia. Mendengar kata “Khuja Bajar Jamar”. Demikian itu maka Habsi itupun segeralah kekapkan, maka dibelinya kambing itu dibawanya ke rumahnya. Maka disembelihnya diambilnya hatinya dipajahnya dibawanya kepada “Alkosi Menteri”. Maka diambilnya pujah oleh “Alkosi Menteri”. Maka dari pada sangat lahapnya semuanya habis dimakannya. Maka dalam hati “Alkosi Menteri” baharulah sempurna pekerjaanku tiadalah ada perencanaanku lagi.
Arkian dengan “Allah Taallah” pada suatu malam maka raja Kibad Syahriyar pun bermimpi. Setelah sudah bermimpi, maha raja pun sadar dari pada tidurnya, maka rajapun lupa akan mimpinya itu. Setelah hari siang, pagi-pagi hari maharaja “Kibad Syahriyar” pun duduk semayam diatas singgasana yang bertahtakan ratna mutu manikam. Maka rajapun menitahkan memanggil segala menteri dan segala bantara dan segala hulubalang dengan seketika itu juga. Maka sekalian orang kaya-kaya menghadap raja “Kibad Syahriyar”. Maka raja pun bertitah : ”Hai segala kamu orang kaya, menteriku dan bantarku dan hulubalang! sekarang hendaklah kamu mengatakan apa yang kumimpi pada malam ini karena aku telah lupa akan mimpiku itu”. Maka sembah segala menteri dan bantar hulubalang sekalian : ”Ya tuanku sah alam jika yang dipertuan mengatakan mimpi itu kepada patiku sekalian niscaya dapat petaka mengadakan takaburnya akan sekarang yang dipertuan lupa akan yang dimimpi itu. Maka titah raja kepada “Alkosi Menteri” : ”Hai menteriku ! sekarang engkau kujadikan perdana menteri lebih besar dari pada sekalian orang dalam negeri Madina ini. Seorang pun tiada lagi sama dengan engkau. Adapun pada harinya hendaklah engkau mengatakan mimpiku ini. Jika tiada kau katakan mimpiku itu. Demi berhala besar demi berhala kecil bahwa engkau kusilahkan dengan hidupmu”. Apabila “Alkosi Menteri” mendengar titah raja yang demikian, maka hatinya ketakutan heran akan dirinya. Maka ia pun teringatnya akan “Khoja Bajar Jamar” dalam hatinya. Jika kanak-kanak itu hidup dapatlah ia mengatakan mimpi raja ini karena anak kumbang di dalam perut ibunya lagi diketahuinya. Baik aku kembali. Setelah sudah ia pikir demikian itu. ”Barang 3 hari lagi hambamu minta janji”, maka titah raja : ”Baiklah”. Maka “Alkosi Menteri” pun pulang ke rumahnya. Maka ia pun segera mencari memanggil habsi itu. Maka dengan seketika itu juga habsi itu pun datang. Maka kata “Alkosi Menteri”: ”Hai Hulubalang ! akan budak itu kan mengapa akan dia ?”. Maka kata habsi itu : ”Ya tuanku ! dengan jajah tuan hamba sudahlah hamba bunuh, hamba sembelih lehernya dan hamba belah dadanya dan hatinya itulah hamba bawa kepada Tuan hamba”.
Maka kata “Alkosi Menteri”: ”Dimana tempat kau bunuh itu ?” maka habsi itupun tiadalah menjawab lagi. Karena kehabisan jawabnya.
Maka kata Alkosi Menteri: “Hai Hulubalang ! jangan bercinta akan dirimu jika baik budak itu engkau segera pergi mengambil dia padaku”. Serta ia mendengar kata “Alkosi Menteri” demikian itu. Maka hulubalang habsi itu pun segera pulang ke rumahnya. Maka dibawanya budak itu kehadapan “Alkosi Menteri”.
Apabila “Alkosi Menteri” melihat muka “Khoja Bajar Jamar” itu, maka ia pun segera berangkat maka diberikan hormat akan “Khuja Bajar Jamar”, lalu dipegangnya tangan dipeluknya dan diciumnya akan “Khoja Bajar Jamar”. Maka kata “Alkosi Menteri” : “Hai anakku Khoja Bajar Jamar ! dari pada kau heran engkau kuambil akan anakku. Dan anakku perempuan itupun kuberikanlah padamu. Maka yang salah bab lalu janganlah kau taruh dalam hatimu, karena aku sahabat bapakmu. Adapun jika ada kasihmu kepadaku, katakanlah olehmu apa yang dimimpi raja pada malam tadi jika dapat kau katakan, terlalu berbahagia sekali engkau”. Maka kata “Khoja Bajar Jamar”: ”Hai Alkosi Menteri jika raja mengatakan mimpi kepada aku, maka dapat aku mengartikan dia”. Maka beberapa-beberapa kali dipintanya oleh “Alkosi Menteri” akan “Khoja Bajar Jamar” tiada juga ia mau mengadakan dia. Kemudian dari itu. Maka “Alkosi Menteri” pun pergi menghadap raja. Setelah dilihat raja, “Alkosi Menteri” datang, maka dari jauh pun bertanya : “Hai “Alkosi Menteri” dapatkah sekarang engkau mengatakan mimpiku, atau tiadakah?” Maka “Alkosi Menteri” pun sujud, kepalanya lalu ke tanah. Maka sembah “Alkosi Menteri” : “Ya tuanku Syah Alam, ada seorang kanak-kanak di rumah hambamu. Beberapa lamanya ia lari ; sekarang pada hari ini, ia ada duduk. Jika segera yang dipertuan menitahkan seorang memenggal dia, niscaya datanglah menghadap Syah Alam. Pada bicara padaku, ialah dapat mengatakan mimpi sah alam itu”.
Maka dengan seketika itu juga, rajapun menitahkan budawan memanggil “Khoja Bajar Jamar” : ”Hai budawan! pergi kamu, bawa seekor, kenakan pelananya dan gagangnya, panggil akan kanak-kanak yang dikata “Alkosi menteri” itu”. Maka biduan itu pun segera sembah lalu berlari-lari mengambil seekor kuda dengan kelengkapannya. Maka dibawanya pergi memanggil kanak-kanak itu. Apabila budawan itu datang kepada “Khoja Bajar Jamar”, maka dijunjungkannya titah raja itu kepada ia serta kuda itupun diberikannya akan kenaikannya. Maka kata “Khoja Bajar Jamar”, ”Hai budawan ! Katakan katakan sembah hamba manusia. Betapa peri hamba duduk di atas belakang jana itu”. Maka budawan itupun segera kembali bepersembahkan kepada raja segala kata “Khoja Bajar Jamar” itu.
Maka titah raja : ”Tanyakan olehmu apa kehendaknya akan kendaraannya”.
Maka budawan itu pun segera pergi kepada “Khoja Bajar Jamar”. Setelah budawan itu datang, maka katanya : ”Hai Khoja! Apa kehendak Khoja akan kendaraan ?” Maka kata “Khoja Bajar Jamar” : ”Persembahkan sembah hamba kebawah duli yang dipertuan, jikalau dapat “Alkosi Menteri” itu dibawa kekang pada mulutnya dan pelana pada belakangnya, maka ia-lah kendaraan hamba. maka hamba mau mengadap raja”. Maka budawan itu pun segera kembali mengadap raja lalu datang sembah ke bawah raja, seperti kata “Khoja Bajar Jamar” itu. Setelah raja menengar kehendak “Khoja Bajar Jamar” itu. Maka bagindapun amat heranlah. Kemudian dari itu, maka raja pun bersebut kepada budawan itu : ”Bawalah olehmu “Alkosi Menteri” bawa bah kekang pada mulutnya dan kenakan pelana kebelakangan. Maka segera bawa kepada kanak-kanak itu pada bicaraku ada juga “Alkosi Menteri” berbuat aniaya kepadanya. Maka dipintanya akan kendarannya”.
Setelah budawan menengar kata raja demikian, maka “Alkosi Menteri” itu pun dibawa bahu oranglah kekang pada mulutnya dan dikenakan pelana diatas belakangnya. Maka “Alkosi Menteri” dibawa oleh budawan itu kepada “Khoja Bajar Jamar”. Setelah dilihatkan “Khoja Bajar Jamar” akan “Alkosi Menteri” dibawa orang kepadanya dengan kekangnya dan pelanya, maka “Khoja Bajar Jamar” pun segera berlari-lari melompat kebelakang “Alkosi Menteri” maka duduklah diatas pelana yang dibelakang “Alkosi Menteri” Maka diburunya oleh “Khoja Bajar Jamar” akan “Alkosi Menteri” itu seperti orang memburu kuda lakunya.
Tatkala itu, “Alkosi Menteri” berjalan dengan empat kahi seperti kuda. Maka dicemetinya oleh “Khoja Bajar Jamar”. Maka dengan seketika datanglah kehadapan raja “Kibad Syahriyar”. Setelah dilihat raja akan Khoja itu datang, maka raja pun berbangkit memberi hormat. Akan Khoja itu dirusuh raja naik ke istana lagi dipegang raja tangan “Khoja Bajar Jamar” maka didudukkannya di sisi raja, pada suatu kursi yang keemasan bertatahkan ratna manikam. Maka raja pun duduklah. Maka titah raja : ”Hai orang muda yang terlalu budiman ! Apa yang kumimpi pada malam tadi ? Baik segera kau katakan kepadaku”. Maka sembah “Khoja Bajar Jamar”: ”Ya Syah Alam ! Ada pun yang dimimpi raja pada malam tadi, ada sebuah talbak dalam thalbak itu sebuah pinggan, dalam pinggan itu suatu makanan. Baharu raja hendak santap, maka datang seekor anjing hitam, maka makanan itu direbutnya, lalu dimakannya. Maka dari pada benci raja akan anjing itu. Maka yang pertuan pun terkejut lalu bangun. Maka daripada sangat murka pertuan lupalah akan mimpi itu”.
Maka titah raja : ”Sungguhlah demikian mimpiku. Seperti kata “Khoja Bajar Jamar” itu tiadalah bersalahan lagi”. Maka rajapun baharulah ingat akan mimpi itu. Maka raja pun bersabda : ”Sekarang apa takaburnya mimpiku itu ?”. Maka kata “Khoja Bajar Jamar” : ”Adapun Sah Alam hendak akan arti mimpi Sah Alam itu, InsyaAllah Taallah dapat petaka, persembahkan dia tetapi kemudianlah petaka persembahkan arti mimpi yang dipertuan itu. Akan sekarang petaka pohonkan darimu karna perkas duli yang dipertuan akan hal petaka”. Maka titah raja: ”Siapa yang berbuat aniaya akan Khoja itu ?”.
Maka sembah “Khoja Bajar Jamar” : Ya Tuanku Sah Alam “Alkosi Menteri” membunuh bapa hambamu tiada dengan dewasanya”. Maka segala hal ikhwalnya semuanya dipersembahkannya kepada raja. Peri “Khoja Bajar Jamar” diserahkan oleh “Alkosi Menteri” kepada Habsyi disuruhnya membunuh, dan peri bapanya diatas perbendaharaan karun dan “Alkosi Menteri” menanamkan mayat bapanya di atas perbendaharaan itu semuanya dipersembahkannya kebawah duli raja “Kibad Syariyar”. Maka tatkala itu juga disuruh raja periksanya seperti sembah “Khoja Bajar Jamar”, dan suruh raja lihat mayat bapanya Khoja itu; Sungguhlah pada tempat itu. Maka dilihat oleh Hamba raja. Sungguhlah perbendaharaan Karun itu dan bapa Khoja Bajar Jamar itu, sungguh ditanamkan diatas perbendaharaan itu. Tetapi hati tolong “Khoja bakhti Jamal” juga lagi takkal. Maka sekalian hal itu dipersembahkan kepada raja. Maka titah raja : ”Jikalau demikian ia telah “Alkosi Menteri” membuat aniaya kepada bapa Khoja”.
Maka dengan seketika itu juga “Alkosi Menteri” disuruh raja soalkan dan rumah tinggalnya “Alkosi Menteri” dan anak istrinya dianugerahkan raja kepada “Khoja Bajar Jamar”. Setelah sudah tersuruh anak istrinya “Alkosi Menteri” dan segala hamba sahayanya kepada “Khoja Bajar Jamar” hakim. Maka anak “Alkosi Menteri” seorang perempuan diberikannya kepada hulubalang Habsi itu. Dan seorang lagi disambilnya oleh “Khoja Bajar Jamar” akan istrinya. Hatta maka raja pun bertanyakan arti mimpinya itu kepada “Khoja Bajar Jamar”. Maka Khoja itupun hampir ke sisi raja, maka dibisikkannya kepada telinga raja itu. Demikian sembahnya : ”Adapun yang dipertuan baharulah istri. Maka hati raja tiada kasih akan dia maka perempuan itupun sekarang ada menaruh seorang habsi dalam sebuah peti, apabila malam maka dikeluarkannya, karna perempuan itu sangat birahi akan habsi itu. Pada tiap-tiap hari pekerjaan perempuan itu. Setelah didengar raja kata “Khoja Bajar Jamar” demikian, maka dalam seketika itu juga suruh raja periksa dalam istana raja itu. Maka dengan seketika itu juga, kedapatanlah seorang habsi dalam sebuah peti. Sungguh seperti kata Khoja itu tiada bersalahan lagi. Lalu pada waktu itu juga perempuan dan habsi itu disuruh raja tanamkan di dalam bumi hingga punggung. Maka sekalian orang hina ini disuruh raja melontari dengan batu akan habsi dan perempuan itu. Maka semuanya orang dalam negeri Madina itulah melontari dia sehingga mati. Maka raja pun menganugerahi “Khoja Bajar Jamar” dengan sepertinya selengkapnya pakaian raja-raja bertahtahkan ratna manikam. Maka tatkala itu “Khoja Bajar Jamar” didudukkan diatas segala menteri. Adapun raja “Kibad Sahriyar” tiadalah berhari dengan “Khoja Bajar Jamar” nanti segala melainkan pada malam juga berahirnya. Adapun raja dan khoja itu suda kala bersua kesukaan juga dalam negeri madina dan memeriksa segala menteri dan hulubalang dan segala rakyatnya. Siapa yang teraniaya dan siapa menganiaya. Karena negeri itu dipegang raja “Kibat Sahriyar” dan “Khoja Bajar Jamar” hakim sekalian dalam hukumnya. Wallahu Alam Bisawab.

cerpen jurnalis

NITIP SEBENTAR



“Ni, aku harus berangkat ke Tulungagung, posisi pemred di sana kosong”
“Jadi bagaimana dengan kami? Rumah ini akan segera diambil pemiliknya, untuk Ndari sih nggak ada masalah, dia kini mandiri dengan kecukupan layak taraf umum. Tapi Narno dan Nun yang masih kecilitu??! Lalu sampean pergi. Apa masih seperti hari-hari lalu? Jangankan uang dikirim, kabar ada atau dimana sampean, kami ndak tahu!”
Ni meninggalkan suaminya tertegun sendiri ditemani cigaret mengepul hampir memenuhi ruang tamu yang tidak luas itu. Ingatannya pada rumah orang tuanya, almarhum Tinah dan Warmin yang kini sunyi tanpa penghuni. Ia membayangkan suasana malam di sana pasti wingit. Sumur di belakang rumah yang tanpa atap. Tempat jemuran yang terletak di tengah rumah semi permanen juga tanpa atap. Jadi kalau malam, jika ingin makan atau sekedar bikin kopi harus lewat lorong rumah yang berdinding tapi tak beratap penghubung antara rumah induk dan dapur. Rumah yang dulunya rame dengan banyak penghuni sekarang jadi angker karena tanpa penghuni. Ia Mengingat rumah kuno yang luas, beserta halaman yang kurang lebihnya seperempat hektar berisi tanaman yang berguna untuk menopang hidup. Rambutan,nangka, sawo, mangga gadung, kopi, pisang, jeruk bisa untuk menutupi sebagian kebutuhan hidup. Tapi, Marni, maukah ia?Lantas sekolah anak-anak? Pasti mereka protes karena harus mengayuh sepeda sejauh dua belas kilo. Jarak tempuh yang jauh untuk anak kelas dua dan empat SD.
”Gimana Kang?Apa gak lebih baik sampean kembali mbuka jahitan aja, seperti dulu?Sampean sih kurang sabar! Mestinya kerja harus jujur, jadi orang tidak kapok! Tapi semua kan belum terlambat, semua bisa dimulai lagi dari awal. Anak sudah banyak. Usia kita pun merangkak tua. Rasanya kesempatan dan sisa hidup kita harus kita pakai untuk berbenah diri, bertobat, bertenang-tenang, berdzikir, berkumpul, dan berbaik-baiklah pada sesama.........
Marni berjalan ke halaman depan rumah, membolak-balik jemuran di pagar bambu yang sedikit miring menjorok ke selatan. Maklum musim hujan telah tiba, jadi jemuran bisa kering setelah dua atau tiga hari. Ia sambil sesekali melirik suaminya yang masih sibuk mengepulkan cigaretnya dan sesekali menyeruput kopi pahit di teko putih usang kekuning-kuningan.
Jam 05.00 usai subuhan Sumo meninggalkan rumah tanpa seorang keluarganya yang tahu. Jam segitu istrinya sudah dipasar berdagang pindang, sementara anak-anaknya belum bangun. Mertuanya yang mulai renta belum tampak mungkin di dapur belakang, di sumur atau ke kanal mencuci pakaiannya sendiri. Hanya beberapa baju dan berkas-berkas yang dianggap penting ia bawa serta dalam tas cangklongnya. Ia tapaki ruas jalan sempit diantara kanal dan pematang sawah sampailah ia di perlintasan bus-bus antarkecamatan.
Bus Minto berjalan landai sedikit menenangkanotaknya, membebaskan pikirannya, melonggarkan tubuhnya dari kepenatan rumah selama ini. Sumo menghirup kebebasan dari rutinitas membantu istrinya mencuci ikan sortiran atau orang pasar menyebutnya ikan bs untuk dipindang, paginya mengantar Marni, istrinya ke pasar. Kembali dari pasar ia menghangatkan sayur dan lauk sisa makan malam untuk sarapan. Kadang makan belum selesai, anak bungsunya minya diantar sekolah. Anak kecil itu sering mengeluhkan bokongnya yang njarem kena hentakan boncengan sepeda beradu dengan bebatuan jalan. Tapi besoknya pasti minta antar lagi, daripada harus jalan kaki melewati jembatan sepi yang berjarak lima kilometer.
Baginya rumah menyisakan kenangan yang tak banyak. Yang sedikit membahagiakan hanyalah anak-anak yang penurut tak banyak usul atau protes, tak banyak permintaan, dan istri yang nrimo dan sabar saja. Justru itulah membuat hidup kurang menggairahkan, taraf hidup mesti ditingkatkan, kelayakan mesti dipertanyakan lalu dijawab dan diwujudkan. Sebagai suami dan ayah perlu menciptakan situasi yang makmur. Ada tujuan besar yang hendak dicapainya. Beberapa puluh rupiah untuk menyenangkan hidupnya, sedikit jabatan untuk menaikkan derajatnya.
Sumo merasa kurang cocok dengan situasi budaya dan geografis daerahnya. Menjala bukan kegemarannya, mencangkul, mutas, berkebun, pun bukan keahliannya.
Dulu ia pernah mengabdi di Samsat kota. Meski hanya sebagai tukang gesek mesin kalau ada orang yang mau memperpanjang STNK. Itu bukanlah pengalaman yang teremehkan. Dia banyak belajar mengenai pelik-pelik kasus orang yang mondar-mandir ke Samsat mengurusi permasalahannya. Beberapa rekan plisi pun jadi karibnya. Terlebih saat itu ia sering dimintai tolong menunjukkan orang-orang desa yang punya simpanan kayu kelas A, B,C. Kayu mana yang boleh dimiliki dan mana yang tidak boleh dimiliki, alias milik negara. Meski hidup sudah layak tapi kemudian ia bosan juga karena tidak juga diangkat jadi sipil polisi. Akhirnya ia keluar, dengan kesadarannya yang hanya lulusan SMP.
Keluar dari Samsat ia ikut kenalan ke Tulungagung. Di sana ia belajar banyak mengenai filosofi hidup. Bahwa kejayaan hidup itu banyak dipengaruhi oleh ijazah yang dimiliki. Itu juga yang membuat kita terpandang, atau terperhitungkan oleh orang. Itu juga yang membuat orang lain memikirkan keberadaan dan kerja kita. Teman itu mengusahakan Sumo mendapat ijazah SMA lewat kejar paket C, tidak makan waktu, tidak bertele-tele. Entah bagaimana ceritanya, setelah sekian tahun aku tidak bertemu tiba-tiba ia ke rumahku sambil membawa setumpuk koran kriminal bertitel ”Detektif”. Di situ tercantum pengurus majalah. Pemred: Sumodijoyo,S.H.
Aku tertegun, kecut, takjub, kemudian bringsut hatiku. Teman kecilku yang sudah kuanggap saudara ini berubah 180 derajat. Mudahnya mendapat titel di belakang nama. Sungguhan atau hanya akal-akalan, demikian pikiran picikku melintas begitu saja. Tak banyak aku pertanyakan. Kini bicaranya sudah lain. Ia tampak berwibawa, diplomatik, karismatik, aksen bicara teratur, terdidik, tidak kampungan. Yang menggelitik, bajunya wartawan kental, celana jeans, hem dengan lengan dilinting, rompi penuh saku, berkalung telepon genggam diselipkan ke dalam saku rompinya, ada bros berlogo nama koran terpasang di kerah bajunya.
Pertemuan ini semacam sambung silaturahmi. Kami membicarakan kabar teman-teman kecil dulu.Kuceritakan siapa-siapa yang sudah jadi kaya, tetap jadi buruh, jadi alim-ulama, jadi kepala desa, jadi carik. Tak lupa kita bahas aksi mencari jamur merang yang kemudian dikejar si pemilik sawah dikira akan mutas ikan yang ada di empangnya. Ditengah obrolan kami, sesekali hapenya berbunyi. Ia jawab dengan penjelasan serius, terperinci tapi susah untuk kumengerti.
”Ya, sudah entry naskah, layouter sudah siap, kirim aja lewat fax atau email. Pastikan editor hadir dalam meeting.... Saya harap besok pagi bisa terbit dan terbaca tanpa kesalahan” begitu bicaranya. Yang kutahu tiap pagi matahari terbit dan menghangatkan punggungku yang lagi mencangkul. Andaikan sampai jam 9 masih gelap itu pertanda musim hujan telah tiba. Orang-orang libur bikin gaplek, mereka memilih bikin gathot. Makanan yang kata penyuluh tidak bergizi tapi cukup menenangkan perut. Peduli amat sama gizi. Mbah Markun saja yang kerjanya sebagai pengambil aren, tidak suka daging, tiap hari makan sama thiwul, sego ampog, sayur lompong, ikan asin, sambal, toh masih sehat hingga kini usianya 85 tahun. Tidak habis pikir aku dengan anjuran makanan sehat lima sempurna itu, sangat mengekang hidup. Makan saja kok dijadwal bisa-bisa tidak sempat menjala ikan aku.
”Mas, aku ingin sampean jadi mitra kerjaku. Aku berencana buka kantor cabang di sini. Tampaknya prospeknya lumayan. Bisa menghidupkan desa ini. Sebagai generasi penerus sudah sepantasnya kita ini memajukan,memakmurkan, dan memberdayakan SDM desa ini. Sampean setuju bukan jika lapangan kerja baru menggeliat dapat menjadi alternatif mereka untuk menyalurkan bakat dan kreatifitasnya. Generasi tidak lagi gaptek, mereka berwawasan.” Begitu paparnya yang bikin pikiranku ruwet. Ruwet harus segera ke sawah karena janjian sama kang idris yang mau membajak. Ruwet dengan bahasa aneh berbelit, atau apa ya dia baru saja berstuditur di planet lain....?Kini bukan lagi ”kang” yang dipakainya, tapi ”mas....”. Mungkin mas itu lebih bermartabat karena tidak mudah luntur meski digosok sama abu dapur.
Kabarnya sedulurnya, satu kakak laki-laki dan delapan adiknya sudah tidak memperdulikannya lagi. Adik perempuan ketujuhnya sudah tidak mau berurusan lagi. Gara-garanya, suatu ketika Sumo datang ke rumah adiknya bersama dua polisi. Polisi itu menanyai macam-macam seputar pemerolehan kayu, lantas mencatat, dan menandai kayu-kayu itu. Adiknya menangis, takut dipenjara. Sumo menyarankan untuk memberi amplop damai saja supaya aman. Adik perempuan itu pun tidak lagi mengungkit masalah dua ekor kerbau yang katanya dipiara, tapi tidak ada kabar untung atau masih hidupnya. Ia pun tidak lagi menanyakan serkel, pemotong kayu yang dipinjamkannya. Memang perjanjian awal akan ada bagi hasil, lama-kelamaan raib tanpa jejak barang itu.
”Mas, piye tawaranku? Setuju tidak! Usaha ini sebagai parameter rasa nasionalis kita lho...... Sampean tidak perlu lagi susah-susah turun ke sawah, ngumpulin bekicot, nanam besaran. Menurut hemat saya, PKBM yang datang bak payung pelindung heroik itu kok tidak banyak membawa perubahan. Kita ini perlu melakukan hal yang revolusionergitu...... “ Sumo membuyarkan lamunanku. Berapi-api ia bicara. Itu mengingatkanku pada jurkam partai pohon yang mengumbar kata-kata agung tiap mau pemilu. Aku pun sukar menolak tawarannya.
“Ya, aku setuju tapi ijinkan aku tetap ke sawah, angon bebek, cari belut, cari bekicot, mutas. O, ya kalau sore aku mau tetap ikut sekolah gratis, biar seperti Kang Parmin yang katanya sudah dapat ijazah paket A” Demikisn syarat ringan yang kuajukan untuk teman ngajiku di masa kecil dulu. Menyungging kecil ia, tanda puas dan senang dengan keputusanku. Pantas saja kalau dulu banyak yang naksir. Sekarang saja, meski sudah beranak tiga wajahnya masih tampan, setampan Rano Karno di era 80-an. Apalagi dengan dandanan necisnya, tampak berkelas.
“Sekolah memang penting Kang. Kalau sampean pinter, bisa aktif terlibat dalam organisasi inti kita. Sampean bisa meeting, ikut konferensi, sarasehan, jadi narasumber di pelatihan-pelatihan, lalu sampean naik pangkat. Paling tidak nantinya bisa jadi reporter, tukang meliput berita atau lebih tinggi lagi, jadi korlap” Sumo membuat anganku melayang. Kulayangkan untuk kata-kata yang tak mudah kupahami, sambil mengangguk-angguk kupikir , aku sudah cukup insaf dengan keberadaan ndesoku ini. Yang penting anak-anakku tidak keleleran, istriku tetap menaruh senang padaku cukup.
Dua hari kemudian, rumahku yang paling lumayan bagus bagus di dusunku dirombak oleh orang-orang suruhan Sumo. Ruang paling depan yang biasa kujadikan ruang menerima tamu diubah menjadi kantor, pintu ditempatkan di depan. Antara kantor dan rumah indukku ada pintu tengah. Rumah indukku sendiri punya ruang tamu dan pintu samping. Jadi jika keluargaku menerima tamu, kami tidak mengganggu dan tidak terganggu oleh kebrisikan urusan kantor. Di dalam kantor ada satu kamar tidur. Sementara sumur (kamar mandi-red) hanya satu di belakang untuk dua rumah, rumahku dan mertuaku. Rumah depanku disulap sedemikian rupa, menawan. Ada kelambu warna biru bergaris kuning, sofa, meja dan kursi putar tempat dik Sumo, ada lemari es, lemari buku, rak koran, bebrapa vas bunga dan pernik-pernik kantor lainnya. Di depan halaman, pinggir jalan terpasang plakat bertulis ”DETEKTI NEWS”.
Tiap harinya ada saja orang yang berdatangan ke kantor. Ada yang memaparkan perkaranya, musibah yang sedang melandanya. Suatu ketika ada seorang guru datang, ia memohon untuk tidak diorankan (tidak dimuat dalam koran-red), dan tidak diadili di kepolisian, juga tidak dimeja hijaukan. Ia sudah mengakui semua kesalahannya, sudah menodai muridnya yang kelas enam. Tapi saat ini ia sudah mengusahakan menggugurkannya, keluarganya diberi uang imbalan, jadi sudah tidak ada masalah lagi. Yang jadi masalah kalau publik tahu hingga terendus pihak Diknas, bisa jadi bom baginya juga keluarganya.
”Pak, orang yang menanam jagung tidak mungkin tumbuh padi. Orang yang membakar sampah tidak mungkin lepas dari asap. Begitu pun orang yang mengubur bangkai tidak mungki berbau pandan. Kalau Tuhan menciptakan bumi, pasti langit kan mengiringi. Kalau ada keburukan kebaikan harus menutupinya, begitu kan Pak? Jadi semua harus berjalan pada relnya, berjalan sesuai garisnya.” Begitu kata-kata bijak Dik Sumo. Waktu kita sama-sama mengaji dulu, pak ustadku tidak serumit itu menjelaskan mengenai orang-orang yang pantas masuk surga atau neraka. Akh... lebih baik kutinggal ke sawah saja, menunggui orang matun sawah, sambil ndangir kacang mumpung belum turun hujan.
Esoknya, pak guru SD Sumberberas itu datang lagi. Setelah bercakap-cakap cukup lama, dan menandatangani beberapa kertas, ia pulang. Sebelumnya ia serahkan kunci mobil beserta surat-surat yang aku tidak tahu. Ia pulang diantar salah satu karyawan naik motor kantor.
Dalam waktu tiga bulan kantor cabang semakin meriah. Cat tembok dan kusen yang kusam diubah menjadi lebih terang. Kini mobil merah Katana semakin melancarkan kerja harian kantor. Kalau hari libur, aku diajak serta jalan-jalan naik mobil. Meski sekedar berkeliling desa, atau kadang ke Alun-alun kota adalah hal menyenangkan bagi aku dan anak-anakku.
Sekarang, orang-orang sekitar dan anak-anak tidak perlu membeli bukubacaan. Mereka cukup datang ke kantor, langsung dapat membawa pulang koran Detektif. Orang-dusun banyak yang menyukainya. Di dalamnya ada TTS, cerita jenaka, cerita horor, iklan pengobatan alternatif, iklan dukun santet, berita kriminal, reportase tempat-tempat keramat yang cocok untuk bersemedi, atau mendapatkan wangsit, kekuatan, kesaktian. Tak luput terselipi juga gambar-gambar wanita cantik agak seronok. Makin hari kelompok belajarpun semakin ramai karena semakin banyak orang yang ingin bisa baca-tulis, lalu ikut jadi konsumennya Detektif.
Koran Detektif mengalahkan rating koran nasional. Dik Sumo semakin terkenal. Ia pun menerima beberapa orang sekitar bekerja di kantor. Dik Jum, yang dulunya juga penjahit, lulusan SMP jadi mendadak pegang tape recorder, kerjanya menanyai orang-orang yang layak diberitakan.
Para karyawan terbiasa kerja profesional dan mandiri, meski Pemrednya, dik Sumo keluar kota. Semua bekerja sesuai bagiannya, termasuk aku. Aku pun mulai belajar tentang cara orang kota berbicara. Kubaca juga beberapa buku. Kata dik Sumo itu penting biar gak kuper alias kurang pergaulan. Bagianku cukup meringankanku, tiap pagi aku membersihkan kantor, membereskan kertas yang bercecer, menyediakan teh atau kopi sesuai pesanan karyawan. Tiap bulan aku mendapat bayaran, gaji kerja dan uang sewa tempat untuk kantor. Agak siang aku bisa melanjutkan kerjaku di sawah, ke kebun, kadang mencari belut, mencari bekicot, atau apa saja sesuai giliran keadaan. Hanya saat tertentu saja aku diikutkan bertugas ke daerah lain. Kalau ada urusan mendadak dan butuh bantuan tenaga aku turut serta. Suatu ketika dik Sumo terima telepon, ia mengadakan kesepakatan. Aku beserta dua karyawnnya, Anton dan Jum berangkat ke Ambulu, desa tetangga. Kami menuju rumah kepala desa. Di sana mereka telah menyiapkan beberapa kubik kayu. Aku beserta beberapa orang suruhan Pak Kades mengangkutnya. Tanpa banyak pertanyaan yang sebetulnya ingin kutanyakan, kami pun membawa kayu itu ke perbatasan desa, antara desa Ambulu dan Tamansari. Di situ kami turun. Anton mendekati dua orang bertubuh tegap, berbicara sangat serius dan tak terdengar, kemudian menerima uang sebendel uang ratusan ribu. Kami turun dari truk. Dua orang tegap dan sopir membawa kayu itu. Sementara kami naik dokar menuju rumah Kades Ambulu untuk mengambil motor kami tadi.
Bulan ketiga, dik Sumo datang bersama perempuan muda, kira-kira berumur 25-an, seusia dengan anak pertamanya. Kali ini takjub aku, beberapa perempuan yang pernah didekatinya baru kali ini yang paling cantik, kulitnya kuning, wajahnya bersih, potongan rambut pendek. Kata anak-anak muda seperti potongan rambut Demi moor. Tubuhnya langsing semampai. Dia cukup ramah, sopan, baik. Tapi tidak banyak cerita mengenai kehidupannya, keluarganya atau pekerjaan sebelumnya. Anak perempuan pertama dik Sumo itu sudah menikah, suaminya jadi TKI, kerja jadi sopir di Arab. Hidupnya lumayan, bisa hidup layak tanpa merepotkan orang tuanya. Malah, kabarnya ibu dan dua adiknya yang juga perempuan menjadi tanggungannya. Anis berubah dulunya dia anak manja dengan kecukupan materi dan kasih sayang sang ayah. Kini menjadi ibu dari dua anak balita, mandiri, pekerja keras, pendiam, mungkin karena menyimpan dendam untuk bapaknya yang tidak tahu adab pada keluarga.
Sebetulnya jarak 50 km antara desa Ambulu ke Sumberberas bukanlah jarak yang jauh bagi seorang ayah yang berkehendak mengunjungi anak dan istrinya sambil memberi sebagian jerih payah usahanya yang menanjak. Ia menutup hati untuk jatuh bangun ekonomi istri dan anaknya. Pastinya tahu, hanya saja sengaja ia tidak membicarakannya denganku. Mungkin juga dia sedang memikirkan strategi agar diterima kembali oleh keluarganya.
Dik Sumo datang dengan wajah sumringah menggendong balita perempuan, kira-kira umur delapan bulan. Ia lantas memulai dengan menceritakan perjalanan hidupnya selepas dari istrinya. Di Malang, dia bertemu Asnia. Pertemuan yang tidak sengaja di sebuah rumah makan. Beberapa kali dia bertemu, tiap kali kantornya memesan makanan untuk rapat di rumah makan itu. Dari situ Asnia menceritakan kelu kesah hidupnya, yanng bersuami kejam. Secara agama ia telah di talak. Ia sudah beranak satu dengan suami pertamanya itu. Kini anaknya yang juga perempuan sudah TK kelas A tinggal bersama orang tuanya di Malang. Dik Sumo ingin menolongnya, dengan menikahinya. Agama mengesahkan pernikahannya satu tahun lalu, dan dikaruniai seorang anak yang kini dipangkunya. Ia menceritakan rencananya akan membeli rumah di kota. Saat ini masih proses pengajuan, sudah membayar uang muka. Pembangunannya belum rampung, sehingga ia butuh tempat tinggal sementara. Rencananya, tahun depan kantor ”Detektif” juga akan jadi satu gedung dengan rumah dik Sumo.
Awalnya tidak ada masalah yang berarti. Bagi keluargaku, Tamu adalah raja yang patut dihormati. Hari berganti pekan. Seminggu berganti bulan. Masalah-masalah kecil bermunculan, bertubi-tubi, jadi bisul, kalau dibiarkan bisa meradang, kalau tidak segera diatasi bisa infeksi. Lama-lama aku menanggung beban juga, yang sulit kubicarakan dengan dik Sumo. Orang berpendidikan yang diplomatis ternyata lebih sulit diajak bicara dan tidak sensitif. Mending Kang Parijan, tukang bajak sawah yang tak banyak teori tapi mengerti bahasa mimik. Istriku sering mengeluh kecapekan. Hampir tiap malam menjelang tidur minta dipijiti. Kalau tahu aku juga capek dia tidak minta dipijiti, tapi menggerutu. Keharmonisanku jadi terganggu. Suatu malam ia bercerita tentang kejadian-kejadian di rumah. Makanan di rumaha habis padahal jadwal makan siang telah tiba. Anak-anak juga mau pulang dari sekolah. Terpaksa ia harus masak lagi, meski badan capek pulang dari sawah mengirim orang matun. Belanja kebutuhan dapur jadi dua kali lipat, ada kebutuhan tak terduga, ia sendiri yang harus menutupinya. Ia keluhkan kamar mandi yang sering ada kresek berisi kotoran manusia, tissue, atau popok sekali pakai. Popok dan pakaian kecil yang tertumpuk hingga berhari-hari, ujungnya istriku lagi yang membersihkan atau mencucinya. Anak pertamaku sering dimintai tolong menjagakan anak dik Sumo. Awalnya senang, lama-lama jam belajarnya jadi terganggu. Cemilannya cepat habis. Dengan tanpa canggung ia nimbrung. Padahal diam-diam Asnia suka sekali belanja jajanan pasar, kemudian menyimpan dan makan sendiri di kamarnya sambil bermain hape. Kalau uangnya lagi banyak, ia makan di warung, berbelanja makanan, pakaian, perhiasan, bertamasya. Biasanya bulan depannya perhiasan itu raib, mungkin ia jual untuk menutupi kebutuhannya.
Tampaknya timbul perasaan jenuh juga berlama-lama tinggal di rumahku. Sekarang mereka mengaturnya dengan bermalam di rumah adik perempuan ketujuhnya, atau adik perempuan keenamnya. Kudengar dari teman, keluhan adik-adiknya yang disinggahi serupa dengan keluhan istriku.
”Mbak Yu..... maaf kalau sampean jadi repot karena istri masku. Aku sendiri juga tidak habis pikir, dapat dari mana dia istri begitu. Wonge ayu, tapi ngalah-ngalahi anak kecil. Jadi ibu kok ya begitu. Gak ada tanggung jawabnya. Orangnya cantik tapi jorok. Masku jadi tak berdaya dibuatnya. Jadi bertekuk dihadapannya. Sudah malas, tidak mau tahu urusan dapur lagi.... Saya sangat malu sama keluarga sampean” begitu kata Sum, adik keenamnya dik Sumo. Istriku enggan untuk memaparkan permasalahannya, karena semua sudah terwakili oleh ucapan wanita separo baya itu.
Beberapa hari pergi kembali lagi ke rumahku. Malamnya mereka ribut hebat. Dua anakku mengungsi ke rumah mertuaku yang berselang dua rumah. Istriku menyumpal telinganya dengan kapas, tetap belum bisa tidur. Karena memang tembok kamarnya berbatas dengan tembok kamarku. Aku merasa kecewa dan menyesal telah menerimanya di rumahku. Aku semakin bingung ingat sertifikat rumahku dipinjamnya. Bilangnya hanya beberapa hari, hanya untuk formalitas persyaratan inden rumah. Hal itu tidak diketahui istriku. Jelas kudengar isakan tangis dik Sumo, umpatan kotor istrinya, tuntutan istrinya. Sesekali dik Sumo juga mencerca istrinya. Lain sekali dengan penilaian awalku pada kata bijak dik Sumo.
”Mana rumah yang kau janjikan itu? Apa rumah rongsokan, tua, dan angker itu yang mau kau peruntukkan padaku? Kukira kamu laki-laki yang dapat diandalkan, tak tahunya kamu hanya laki-laki parasit, yang menumpang kesana-kemari tak ada kepastian sebelum masuk bui! Aku sudah mengantongi semua rahasia tipu-tipumu. Semua bukan soal bagiku. Masalahnya, aku mau ada kepastian statusku!” Asnia berteriak sambil terdengar beberapa barang berjatuhan.
”Tenang, semua butuh waktu” Dik Sumo bicara melemah.
“ Kalau aku mau, dulu-dulu sudah kutinggal kau. Tapi sudah ada anak... “
“ Kamu perempuan sundal, aku pun tahu siapa kamu. Jangan mentang-mentang. Aku laki-laki bisa lebih menang dari padamu.”
”Aku tidak tahan hidup begini. Lihat saja kalau suatu hari kamu menuai akibatnya, dan hidupmu jadi terlunta-lunta. Aku masih muda, masih banyak yang mau padaku. Sampean, laki-laki tua yang tidak jelas. Ditolak keluarga. Dikucilkan keluarga”
”Sudah! Jangan bicara saja. Kalau nanti aku kaya kupastikan kamu bersipu di lututku! Aku mau tidur!”
”Boleh kamu tidur, tapi harus kamu ingat PR dari pak Kasun tadi. Keberadaanmu dicurigai. KTP-mu sudah dua tahun mati. Gugatan ceraimu pada istri tuamu itu dihiraukan. Pengadilan juga tidak bisa memutuskan karena ucapanmu dianggap tidak berdasar. Istrimu itu ternyata lebih pintar dari sarjana hukum sepertimu. Sengaja ia membuatku tidak berstatus. Kamu pun menggantung. Dan orang-orang di luar sana..... yang mulai melek, pintar, tahu hukum. Ada berapa yang ingin menuntut balik dirimu. Pokoknya besok aku mau pergi”
”Dasar Sundal! Pergi dengan laki-lakimu ya?! Awas kamu, jangan harap bisa lepas dariku.”
”Laki-laki tua sepertimu, jangan terlalu banyak berharap apalagi denganku, yang masih punya kesempatan lebih banyak. Sepertimu hanya nunggu giliran aja!”
”Sudah cukup! Aku sumpek capek, mau istirahat”
Kutunggu, tidak ada suara apa-apa hingga seperempat jam. Sengaja aku tidak tidur. Kubiarkan istriku istirahat. Timbul suara tangis anaknya, lalu diam.
”Mas! Kalau begitu jadikan uang saja rumah itu, beres kan!” Suaranya lebih pelan, sedikit merajuk.
”Belum bisa, sulit As. Masih berupa pethok, atas nama Almarhum bapakku lagi” Suaranya landai. Tampaknya berusaha sabar.
”Dengan SH-mu kan bisa, kamu pegang kerawangannya, sebelumnya kamu bisa melakukan lebih dari ini.... Aku capek begini Maas” Nadanya tidak lagi marah.
”Harus ada tanda tangan ahli waris, kakakku dan adik-adikku”
Mata dan tubuhku lemas tidak bisa toleransi lagi. Tidak ada lagi yang bisa kudengar.
Kepalaku pening, nyut-nyut rasanya. Istriku membangunkanku.
”Bangun Kang! Anak dik Sumo menangis. Tengok, ada apa...”
Aku langsung menuju kamarnya. Sepertinya ada yang menyiram mukaku dengan air dingin. Tidak lagi ada rasa ngantuk, meski kepala masih terasa sakit dan pusing. Rasanya barang-barang yang ada mengelilingiku. Anak perempuan kecil yang tidak gemuk itu menangis, merangkak di lantai, sendirian. Kugendong dia. Spontanitas kami membuat kami tidak berkata-kata. Aku menenangkan anak itu, sementara istriku memeriksa barang-barang yang ditinggalkannya. Baju-baju yang kurang bagus, baju anaknya, dan susu bayi di kaleng. Di meja kecil sebelah tempat tidur ada kertas bertuliskan, ”Nitip Sebentar ya Mas – Sumodijoyo, S.H”

melayu lama

Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam   Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang   Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus   Dengan segores kalam jadi tersarung (Raja Ali Haji, dalam Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin)

MAJAS
Didalam sebuah karya sastra utamanya dalam sebuah karangan fiksi sering kita jumpai bahasa-bahasa yang imajinatif yang ditujukan untuk memperindah sebuah cerita. Itulah yang sering kita kenal dengan Gaya Bahasa atau Majas. Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Gaya bahasa sering digunakan dalam karangan fiksi. Bahasa dalam karangan fiksi lebih bebas dari karangan nonfiksi atau ilmiah. Oleh karena itu, bahasa dalam karangan ilmiah adalah bahasa baku dan bermakna lugas. Dalam karangan fiksi gaya bahasa diperlukan untuk memperindah cerita.

Ungkapan adalah kata atau kelompok kaya yang memiliki makna kiasan, konotatif, simbolis.Contoh : 1. Perusahaan itu gulung tikar karena krisis ekonomi yang berkepanjangan.2. Paijo selalu menjadi kambing hitam di kelasnya.3. Lelaki setengah baya itu ternyata mata keranjang.
Peribahasa adalah satuan gramatikal (bisa frase, klausa, atau kalimat) yang memiliki bentuk dan makna tetap.Contoh :1. Bagai air di daun talas.2. Seperti anak ayam kehilangan induknya.3. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
MAJAS
Majas atau gaya bahasa adalah bahasa kias yang digunakan untuk mempertajam maksud.
Didalam khasanah Bahasa Indonesia, Majas dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
Majas Perbandingan
Majas Penegasan
Majas Perulangan
Majas Pertautan

Gaya bahasa perbandingan terdiri atas beberapa gaya bahasa. Di antaranya seperti yang tertulis di bawah ini:
A. Majas perbandingan
Majas perbandingan
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Alegori, membandingkan hal/benda secara berkelanjutan membentuk sebuah cerita.Contoh :Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.

2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile/Perumpamaan, yaitu membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung.Contoh :a. Wajahnya bagai bola api.b. Tatapannya laksana matahari.c. Seperti angin aku melayang kian kemari.

4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll. Metafora, yaitu membandingkan dua hal/benda tanpa menggunakan kata penghubung.Contoh :a. Bumi itu perempuan jalang.b. Tuhan adal;ah warga negara yang paling modern.

5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
6. Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
11. Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
13. Personifikasi, yaitu majas yang membandingkan benda yang tidak bernyawa seolah-olah dapat bertindak seperti manusia.Contoh :a. Bulan menangis menyaksikan manusia saling bunuh.b. Daun-daun memuji angin yang telah menyapanya. Personifikasi atau penginsanan adalah gaya bahasa yang menggunakan sifat-sifat insani pada barang yang tidak bernyawa. Contoh: Dengarlah nyanyian pucuk-pucuk cemara.


14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.


1. Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan, tetapi sengaja dianggap sama. Biasanya pada majas ini diterangkan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, dan laksana.
Contoh: Dua bersaudara itu seperti minyak dengan air, tidak pernah rukun.

2. Metafora adalah perbandingan yang implisit, tanpa kata pembanding seperti atau sebagai diantara dua hal yang berbeda.
Contoh: Para kuli tinta mendengarkan dengan tekun penjelasan tentang kenaikan harga BBM.


4. Alegori adalah gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan yang utuh. Beberapa perbandingan membentuk satu kesatuan. Alegori merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, biasanya mengandung pendidikan dan ajaran moral.
Contoh: Berhati-hatilah dalam mengemudikan bahtera kelangsungan kehidupan keluargamu, sebab lautan kehidupan ini penuh ranjau, topan yang ganas, batu karang, dan gelombang yang setiap saat dapat menghancurkleburkan. Oleh karena itu, nakhoda harus selalu seia sekata dan satutujuan agar dapat mencapai pantai bahagia dengan selamat.

5. Pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata mubazir.
Contoh: Saya menyaksikan pembakaran rumah itu dengan mata kepala saya sendiri.

6. Tropen adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan kata lain yang mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar.
Contoh: Setiap malam ia menjual suaranya untuk nafkah anak dan istrinya.

7. Perifrasis adalah Gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan menguraikan sepatah kata menjadi serangkaian kata yang mengandungarti yang sama dengan kata yang digantikan itu.
Contoh: Ketika matahari hilang dibalik gunung barulah ia pulang.

Gaya bahasa pertentangan ini juga terdiri atas sejumlah gaya bahasa. Di bawah ini adalah gaya bahasa pertentangan yang sering dipakai.


1. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih – lebihan, atau membesar – besarkan sesuatu yang dimaksud dengan tujuan memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi, memperhebat, serta meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
Contoh: Teriakan para pengunjuk rasa itu membelah angkasa.

2. Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil – kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, tujuannya untuk merendahkan diri. Litotes merupakan lawan dari hiperbola.
Contoh: Jakarta sebagai kota metropolitan bukan kota yang kecil dan sepi.

3, Ironi adalah gaya bahasa yang berupa sindiran halus berupa pernyataan yang maknanya bertentangan dengan makna sebenarnya.
Contoh: Pagi benar engkau datang, Hen! Sekarang, baru pukul 11.00
Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

4. Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta – fakta yang ada.
Contoh: Musuh sering merupakan kawan yang akrab. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.
5. Klimaks adalah gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan.
Contoh: Dua hari yang lalu korban kerusuhan berjumlah lima belas orang, kemarin bertambah menjadi dua puluh, sekarang terhitung sejumlah tiga puluh orang.

6. Antiklimaks merupakan gaya bahasa kebalikan dari klimaks. Dalam gaya bahasa antiklimaks, susunan ungkapannya disusun makin lama makin menurun.
Contoh: Bukan hanya Kepala Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban kerusuhan, para murid ikut menyumbang semampu mereka.

7. Antitesis Gaya bahasa pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti.
Contoh: Cantik atau tidak,kaya atau miskin, bukanlah suatu ukuran nilai seorang wanita. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.

8. Okupasi merupakan gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian di beri penjelasan atau diakhiri kesimpulan.
Contoh: Merokok itu merusak kesehatan, akan tetapi si perokokk tidak dapat menghentikan kebiasaannya.Maka muncullah pabrik-pabrik rook karena untungnya banyak.

9. Kontradiksio Intermimis merupakan gaya bahasa yang memperlihatkan pertentangan dengan penjelasan semula.
Contoh: Semua murid di kelas ini hadir, kecuali si Hasan yang sedang ikut Jambore. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.

Gaya bahasa pertautan terdiri atas beberapa gaya bahasa yaitu sebagai berikut;

1. Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama cirri atau nama hal yang ditautkan dengan segala sesuatu sebagai penggantinya.
Contoh: Sang Merah Putih berkibar dengan gagahnya di angkasa.

2. Sinekdoke ini terdiri atas dua gaya bahasa.
a. Pars Prototo adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian, tetapi yang dimaksud keseluruhan.
Contoh: Setiap kepala dikenai sumbangan sebesar Rp 1. 500,00
c. Totem pro parte adalah gaya ahasa yang menyebutkan keseluruhan tetapu yang dimaksudkan sebagian.
Contoh: Sekolah kami sudah dua kali mendapat juara pertama dalam lomba cerdas cermat bahasa Inggris.

3. Alusio adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa, tokoh, dan tempat yang sudah banyak dikenal oleh pembaca. Gaya bahasa ini juga menggunakan peribahasa, ungkapan, atau sampiran pantun yang isinya telah diketahui oleh umum.
Contoh: Jangan seperti kura – kura dalam perahu.

4. Eufimisme adalah gaya bahasa yang berupa ungkapan – ungkapan halus, untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar, kurang sopan, atau kurang menyenangkan.
Contoh: Sayang, anak setampan itu hilang akal.



Gaya bahasa penegasan terdiri atas beberapa gaya bahasa, antara lain:
1. Antanaklaris, memgulang kata yang sama dengan arti yang berbeda.Contoh :a. Buah hatinya menjadi buah bibir tetangganya.b. Hatinya memintanya berhati-hati.
2. Repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau beberapa kata berkali-kali,yang biasanya dipergunakan dalam pidato, frase, atau klausa yang dipentingkan.Contoh :a. Di Stella Duce 2 Yogyakarta ia mulai meraih prestasi, di Stella Duce 2 Yogyakarta ia menemukan tambatan hati, di Stella Duce 2 Yogyakarta pula ia menunggu hari tuanya.b. Tidak ada kata lain selain berjuang, berjuang, dan terus berjuang.
Contoh: Kita junjung dia sebagai pemimpin,kita junjung dia sebagai pelindung.
3. Paralelisme, mengulang ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna.Contoh :a. Sunyi itu duka, sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu mati.b. Hidup adalah perjuangan, hidup adalah persaingan, hidup adalah kesia-siaan.
4. Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan pemakaian kata – kata permulaan yang sama bunyi. Gaya bahasa ini biasa digunakan pada karangan fiksi yang berupa puisi.
Contoh: Dara damba daku
Datang dari danau. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan. Aliterasi, mengulang bunyi konsonan yang sama.Contoh :a. Malam kelam suram hatiku semakin muram.b. Gadis manis menangis hatinya teriris iris.
5. Asonansi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vocal yang sama. Biasanya dipakai dalam karya puisi atau dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau menyelamatkan keindahan.
Contoh: Muka muda mudah marah
tiada siaga tiada biasa
jaga harga tahan harga
6. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
7. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
8. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
9. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
10. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
11. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
12. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
13. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
14. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
15. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
16. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
17. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
18. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
19. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
20. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
21. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
22. Paralelisme adalah majas penegasan yang seperti repetisi tetapi dipakai dalam puisi. Contoh: Kalau kau mau,aku akandatang
Jika kau menghendaki,aku akan datang
Bila kau minta, aku akan dating
23. Tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kata-kata yang sama artinya untuk mempertegas arti. Contoh: Saya khawatir serta was-was akan keselamatannya.
24. Simetri adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan satu kata, Kelompok kata atau kalimat yang diikuti kata, kelompok kata yang seimbang artinyan dengan kata pertama.
Contoh: Kakak berjalan tergesa-gesa, sepoerti orang dikejar anjing gila.
25. Enumerasio adalah majas penegasan yang melukiskan beberapa peristiwa membentuk satu kesatuan yang dituliskan atu per satu supaya tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya terlihat jelas.
Contoh: Angin berhembus, laut tenang, bulan memancar lagi. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
26. Rettorik adalah majas penegasan dengan menggunakan kalimat Tanya yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.
Contoh: Mana mungkin orang mati hidup kembali? Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
27. Koreksio adalah majas penegasan berupa membetulkan kembali kata-kata yang salah diucapkan, baik sengaja atau tidak sengaja. Contoh: Hari ini sakit ingatan, eh…maaf, sakit kepala maksudku. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya
28. Asidenton adalah majas penegasan yang menyebutkan beberapa benda, hal atau keadaan secara berurutan tanpa memakai kata penghubung. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
Contoh: Kemeja, sepatu, kaos kaki, dibelinya di tokok itu.
29. Polisidenton adalah majas penegasan yang menyatakan beberapa benda, orang, hal atau keadaan secara berturut-turut denganmemakai kat apenghubung.
Contoh: Dia tidak tahu, tatapi tetap saja ditanyai, akibatnya dia marah-marah. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
30. Ekslamasio adalah majas penegasan yang memakai kata-kata seru sebagai penegas.
Contoh: Amboi, indahnya pemandangan ini! Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
31. Praeterito adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu dan pembaca harus menerka apa yang disembunyikan itu.
Contoh: Tidak usah kau sebut namanya, aku sudah tahu siapa penyebab kegaduhan ini.
32. Interupsi adalah majas penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan diantara kalimat pokok untuk lebih menjelaskan dan menekankan bagian kalimat sebelumnya.
Contoh: Aku, orang yang sepuluh tahun bekerja disini, belum pernah dinaikkan pangkatku. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.




v